Film 2012 yang menggambarkan terjadinya akhir peradaban manusia memang cukup mengerikan. Cerita film yang didasarkan pada prediksi suku bangsa Maya yang hidup sekitar 2600 SM tentang akan adanya gempa besar pada 21 Desember 2012 mengundang banyak prediksi tentang masa depan bumi. Terlepas dari berbagai prediksi tersebut, benarkah bumi sekarang menuju kehancurannya? Dan bisakah kita mengatasinya?
Salah satu fenomena yang sekarang sedang terjadi adalah global warming, fenomena ini bukan lagi suatu opini tapi merupakan realitas yang mengancam masa depan bumi. Pemanasan bumi secara global disebabkan adanya efek rumah kaca. Efek rumah kaca adalah proses terperangkapnya sinar infra merah di atmosfer karena adanya gas-gas rumah kaca seperti metana, karbondioksida, nitrous oksida, ozon, CFCs dll. Secara alami gas-gas ini sudah ada dengan sendirinya sebagai penghangat bumi, tetapi seiring dengan dimulainya era industrialisasi volume gas-gas ini terus terakumulasi di atmosfer tanpa bisa dinetralisir oleh proses alamiah. Di masa sebelum era industrialisasi dan masih banyaknya hutan di bumi sebagian CO2 dinetralisir dalam proses fotosintesis tanaman.
Pada tanggal 7-18 Desember 2009 para pemimpin dunia, para aktivis lingkungan dan lembaga-lembaga terkait akan berkumpul di Copenhagen, Denmark untuk merumuskan suatu draft yang diharapkan bisa membatasi efek pemanasan global. Draft ini diharapkan bisa menggantikan protokol Kyoto yang akan berakhir tahun 2012. China dan Amerika adalah dua negara penghasil CO2 terbesar saat ini, sehingga komitmen dari dua negara ini akan mempengaruhi masa depan planet bumi.
Mengurangi emisi CO2 bagi negara industri memang seperti simalakama yang akan mengurangi laju industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gambaran berdasarkan data yang dirilis US Department of Energy's Oak Ridge National Lab, China yang terus mengembangkan industrinya menghasilkan penambahan 490 Mega ton CO2 dari tahun 2007 ke 2008. Pada tahun 2007 China menghasilkan sekitar 3 Giga ton CO2.
Menurut Gregy Markind sejak tahun 1982 karbondioksida yang sudah dikeluarkan ke atmosfer karena proses industrialisasi sekitar 715,3 triliun ton. Sejak era industrialisasi konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dari 280 ppm menjadi 387 ppm dan membuat suhu bumi naik sekitar 2 C. The UN Intergovernmental panel on Climate Change memprediksi pada tahun 2100 suhu bumi akan naik sekitar 4 C dibanding sekarang. Efek yang sudah dirasakan saat ini antara lain terus mencairnya lapisan es abadi di berbagai pegunungan, dan menipisnya lapisan es di Antartika sampai sekitar 40 persen dalam 40 tahun terakhir dan naiknya permukaan air laut tiga kali lebih cepat, dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan berbagai bencana di seluruh permukaan bumi.
Lalu adakah hubungan antara pemanasan global dengan gempa besar? Hal ini masih menjadi perdebatan, tapi ada suatu pendapat yang menyatakan jika es di kutub terus mencair, maka volume air di lautan akan semakin bertambah, hal ini menyebabkan tekanan air ke dasar permukaan lautan semakin besar. Jika perut bumi banyak berongga yang diakibatkan oleh eksplorasi minyak, gas dan bahan tambang lain, maka rongga ini akan pecah dan menyebabkan gempa yang akan memicu gempa lain yang lebih besar yang disebabkan pergerakan lempeng antarbenua.
Beberapa solusi untuk mengatasi global warming sudah dilakukan. Misalnya saja usulan oleh ilmuan untuk menyimpan sejumlah besar gas sulfur di stratosfer bumi, strafosfer berjarak antara 10-50 km dari permukaan bumi. Konsepnya gas sulfur diharapkan bereaksi dengan uap air dan membentuk awan asam sulfat yang nantinya dapat memantulkan kembali sinar matahari yang menuju bumi. Tetapi konsep ini mempunyai banyak kelemahan antara lain karena asam sulfat yang membahayakan kehidupan di bumi itu sendiri. Solusi lain yang diusulkan adalah dengan pembentukan garam NaCL di troposphere dengan cara menyemprotkan air laut ke angkasa. Konsep ini juga ditujukan supaya garam NaCl yang terbentuk bisa menghalangi sebagian sinar matahari yang mengarah ke bumi. Konsep lain bahkan lebih radikal yaitu dengan menempatkan banyak piringan-piringan kecil diluar angkasa untuk mengurangi sinar matahari yang menuju bumi.
Selain solusi pengurangan sinar matahari yang menuju bumi, dikembangkan juga teknologi untuk menyerap karbondioksida yang dikenal dengan metode CCS, Carbon Capture and Storage. Diantaranya teknologi penyerapan CO2 dengan metode amine scrubbing yang sudah dikembangkan sejak tahun 1930. Gary T Rochelle menggunakan 20% Monoethanolamin untuk menyerap CO2. CO2 yang dihasilkan di kompres dan digunakan untuk geological sequestration, penyimpanan didalam perut bumi dalam proses pengambilan minyak dan gas alam.
Salah satu sumber utama emisi CO2 adalah energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Saat ini sekitar 80% sumber energi yang dipakai bersumber dari energi fosil, 25% nya adalah batu bara yang notabene merupakan 40% penyumbang emisi karbon dioksida. Untuk mengurangi penggunaan energi fosil, para ilmuan sekarang sedang mengembangkan berbagai macam energi terbarukan seperti biosolar, bioetanol, biogas, fuelcell dll. Di Indonesia perkembangan biodiesel sebagai pengganti solar dan bioetanol sebagai pengganti bensin masih terus dikembangkan. Khusus untuk bioetanol yang dibuat dari jagung atau singkong dianggap bukan solusi jangka panjang karena akan bersaing dengan kebutuhan pangan. Oleh karena itu sekarang sedang dikembangkan pula bioetanol dari sumber selulosa seperti rumput-rumputan dan kayu yang dikenal sebagai bioetanol generasi ke-2. Salah satu kelemahan energi ini adalah cukup mahal dibanding harga bahan bakar sekarang. Beberapa sumber energi alternatif lain yang memiliki sumber melimpah juga terus dikembangkan diantaranya adalah energi angin; energi air yaitu hidroelektrik, gelombang, geothermal; dan energi matahari. Sumber-sumber energi ini diharapkan mampu menggantikan energi fosil dalam jangka panjang.
Pencemaran bumi dari berbagai aktivitas manusia memang sulit dihentikan dan inilah yang menyebabkan bumi kita dalam bahaya jka tidak segera diatasi. Bagaimanapun dengan proses-proses pencegahan yang sudah dilakukan diharapkan perusakan bumi bisa diperlambat. Selain komitmen yang kuat dari negara-negara industri yang akan merumuskan masa depan bumi di Copenhagen pada Desember nanti, kita juga dapat menyumbangkan solusi sederhana yaitu dengan menanam pohon. Jika dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, 50% nya menanam satu atau dua pohon tentu akan memberikan dampak yang cukup signifikan dalam penyerapan karbondioksida dan mengurangi beban bumi dari kerusakan yang lebih parah.
Roni Maryana
Peneliti bidang Kimia pada UPT BPPTK LIPI (Research Student di Keio University, Jepang)
Sumber : http://techno.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar