Satu lagi bagian pop culture impor dari negeri para samurai yang ramai digemari anak-anak muda di Indonesia saat ini adalah Harajuku Style. Konon gaya serba boleh di harajuku ini sudah banyak diadopsi sama remaja kita. Harajuku Style di mata anak-anak remaja Indonesia pengertiannya adalah gaya berbusana yang aneh, nyentrik, dan serba ngejreng. Padahal sebenarnya Harajuku adalah sebutan populer untuk kawasan di sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Kawasan ini terkenal sebagai tempat anak-anak muda berkumpul. Lokasinya mencakup sekitar Meiji Jingu, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita (Takeshita-dori), departement store Laforet, dan Gimnasium Nasional Yoyogi. Harajuku bukan sebutan resmi untuk nama tempat, dan tidak dicantumkan di buku alamat.
Sebenarnya apa yang membuat mereka menyebut hal yang seperti itu menjadi bernama Harajuku Style? Mungkin ini erat kaitannya dengan kegiatan yang dilakukan oleh remaja Jepang di daerah Harajuku tersebut. Apabila kita jalan-jalan dan melihat kegiatan anak-anak muda Jepang di depan Meiji-jinggu Shrine, tidak jauh dari Harajuku Station, di sana kita bisa melihat cewek-cewek Harajuku dengan dandanan mereka yg aneh-aneh. Rupanya berita ini mungkin saja tersiar sampai ke tanah air yang mungkin disebarkan lewat media atau mungkin juga lewat cerita-cerita orang Indonesia yang pernah tinggal di Jepang lalu kembali ke Indonesia. Konon Harajuku menjadi popular setelah diliput media cetak seperti majalah Anan dan non-no pada saat pembukaan departement store besar-besaran di tahun 1970-an. Busana nyentrik ini diawali oleh gaya pakaian di kedua majalah tersebut. Banyak anak-anak muda Jepang yang doyan jalan-jalan di Harajuku dan menjiplak pola pakaian di majalah itu.
Ada beberapa perbedaan juga antara Harajuku Style yang berkembang di Jepang dengan Harajuku Style yang biasa dipraktekkan remaja Indonesia. Kalau di Indonesia, nampaknya mereka tidak seberani remaja Jepang dalam mengekspresikan diri lewat Harajuku Style-nya itu. Karena sebenarnya kalau diperhatikan gaya Harajuku Style yang versi Jepang asli itu benar-benar sudah gak mengedepankan lagi etika moral berpakaian.
Gaya Harajuku versi Jepang tidak hanya sekedar motong rambut menjadi tidak beraturan. Tapi ternyata ada beberapa aliran cara berpakaiannya. Sebut saja gothic lolita yang kebanyakan dipakai oleh remaja wanita Jepang, dengan pola busana elegan, gothic, feminin, dan menjadikan si pemakai seperti boneka bermotif Victoria. Selain itu, ada gaya Japanese punks, yang terinspirasi dari gerakan punk di awal 70-an. Cosplay, membuat diri dan pakaian kita semirip mungkin ama tokoh anime atau karakter game, seperti Naruto atau Bakabon. Decora, dengan ciri khas warna-warna cerah, flamboyan, dan nyentrik. Kawaii, yang artinya lucu atau imut. Tentunya pakaian yang dikenakan juga lucu dan imut. Dan wamono, yang merupakan gabungan antara busana Jepang dengan barat.
Sementara itu Harajuku Style-nya orang Indonesia biasanya mereka masih terbatas pada ekspresi gaya rambut, dan dandanan yang tidak terlalu mencolok. Mereka baru berani berpakaian Harajuku Style yang sebenarnya ketika ada event festival cosplay atau matsuri ala orang Indonesia. Sedangkan kalau dalam kesehariannya, sefanatik apapun orang itu dengan gaya yang diusungnya, tetap dia tidak akan berani berekspresi seheboh remaja Jepang di depan Meiji-jinggu Shrine deket Harajuku station. Sebagian besar remaja Indonesia yang mengadopsi Harajuku Style apabila ditanya Apakah akan menggunakan gaya ini dalam kehidupan sehari-hari akan mengaku malu untuk mempraktekkannya. Dari sini bisa kita mendapat kesimpulan, kalau pada kenyataannya mereka tetap harus bertubrukan dengan benteng aturan norma masyarakat umum Indonesia yang masih menganggap hal itu aneh.
Ternyata tidak semua pengaruh budaya itu bisa membawa pengaruh positif. Namun tidak semua efek akulturasi budaya itu berbahaya asal masih pada tempatnya dan tidak berlebihan.
Contohnya apabila diadakan acara-acara gelar budaya Jepang di Indonesia adalah suatu hal yang positif. Karena dari sana kita bisa saling mengenal budaya-budaya setiap negara. Selain itu bisa juga membantu kita mempelajari banyak hal yang bermanfaat. Contohnya, dengan ikutan lomba speech kontes bahasa Jepang, berarti secara tidak langsung kita mengasah dan menguji kemampuan penguasaan bahasa asing kita. Akulturasi adalah baik selama tidak menyimpang dari aturan, moral dan etika yang berlaku. Apabila telah menyimpang lebih baik ditinggalkan saja.
Sumber : http://mujahidsamurai.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar